Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
G 30 S/PKI: Tragedi Sejarah dan Pelajaran Kemanusiaan
11 jam lalu
***
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz.
Tanggal 30 September 1965 adalah sebuah titik kelam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Peristiwa yang kemudian dikenal sebagai G 30 S/PKI mencatat penculikan dan pembunuhan sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat oleh kelompok yang menamakan diri "Gerakan 30 September". Para korban, yang kini dikenang sebagai Pahlawan Revolusi, adalah tokoh-tokoh militer penting yang menjadi tulang punggung pertahanan negara.
Peristiwa tersebut segera memicu pergeseran kekuasaan, dari Presiden Sukarno menuju rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto.[1] Namun, tragedi ini tidak berhenti pada hilangnya nyawa para perwira Angkatan Darat. Dalam waktu singkat, jutaan orang yang diduga terlibat atau bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi sasaran penangkapan, pembuangan, dan pembunuhan massal
. Kekerasan politik ini berlangsung dalam skala luas di berbagai daerah, menelan korban yang hingga kini jumlah pastinya masih diperdebatkan. Sejarawan Robert Cribb menyebut peristiwa 1965–1966 sebagai salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah modern Indonesia.[2]
Kekerasan itu juga menandai lahirnya sebuah "politik trauma". Keluarga dari korban pembantaian maupun keluarga dari Pahlawan Revolusi sama-sama menanggung luka panjang yang diwariskan lintas generasi. Di satu sisi, mereka yang dituduh komunis mengalami stigma, diskriminasi, dan kehilangan hak-hak sipil; di sisi lain, keluarga perwira yang gugur harus menanggung beban kehilangan akibat aksi penculikan.
Tragedi ini, dengan demikian, bukan hanya masalah politik, melainkan juga soal kemanusiaan.[3] Kontradiksi besar dari G 30 S/PKI terletak pada ketegangan antara - ideologi dan kemanusiaan. Pada titik tertentu, politik ideologi menjadi instrumen yang menyingkirkan empati. Keputusan-keputusan yang lahir kala itu menunjukkan bagaimana kekuasaan dan ideologi dapat mengesampingkan nilai-nilai dasar kemanusiaan, sehingga rakyat menjadi korban terbesar. Inilah yang membuat G 30 S/PKI patut dikenang sebagai peringatan moral, bukan sekadar bab sejarah yang membeku dalam buku pelajaran.[4]
Dalam kacamata sejarah kontemporer, tragedi 1965–1966 sering diperdebatkan. Ada perbedaan tafsir mengenai siapa dalang utama gerakan ini, bagaimana keterlibatan pihak asing, dan sejauh mana dinamika internal militer ikut menentukan hasil akhir. John Roosa dalam - Dalih Pembunuhan Massal - menegaskan bahwa peristiwa ini adalah momen yang digunakan Soeharto untuk membangun legitimasi kekuasaan Orde Baru.[5] Dengan kata lain, tragedi ini sekaligus menjadi pintu masuk bagi perubahan rezim yang akan membentuk arah politik Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Bagi bangsa Indonesia hari ini, penting untuk tidak terjebak dalam polarisasi ideologis ketika mengenang G 30 S/PKI. Tragedi ini hendaknya menjadi momentum refleksi bahwa perbedaan pandangan politik dan ideologi tidak boleh lagi diselesaikan melalui kekerasan. Kekerasan politik hanya menghasilkan spiral dendam dan luka sosial yang sulit disembuhkan. Demokrasi, musyawarah, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia harus menjadi jalan penyelesaian konflik di masa depan.[6]
Sejarah G 30 S/PKI juga mengajarkan kita tentang rapuhnya kehidupan berbangsa ketika nilai - kemanusiaan - diabaikan. Kita bisa berbeda pandangan, berbeda ideologi, bahkan berbeda cara menafsirkan masa depan, tetapi tidak boleh mengorbankan prinsip penghormatan terhadap hidup manusia. Inilah esensi dari Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika yang seharusnya menjadi pegangan kolektif bangsa Indonesia.[7]
Generasi muda Indonesia, yang lahir jauh setelah peristiwa itu, punya peran penting dalam merawat ingatan sejarah. Mengingat G 30 S/PKI tidak cukup hanya dengan menonton film dokumenter atau membaca buku sejarah, melainkan dengan memahami makna kemanusiaan yang terkandung di balik tragedi tersebut. Dengan begitu, mereka tidak sekadar mengenang, tetapi juga belajar agar kekerasan politik tidak lagi menjadi pilihan di negeri ini.
Kini, hampir enam dekade setelah tragedi itu, bangsa Indonesia harus terus meneguhkan komitmen bahwa perbedaan tidak boleh menjadi alasan untuk saling meniadakan. Peristiwa G 30 S/PKI menjadi bukti bahwa kekerasan politik adalah jalan buntu, sedangkan jalan dialog, keadilan, dan solidaritas sosial adalah cara yang lebih bermartabat.
Akhirnya, G 30 S/PKI harus kita pandang sebagai - tragedi sejarah sekaligus pelajaran kemanusiaan. Tragedi, karena ia menyisakan luka mendalam dan kehilangan besar; pelajaran, karena ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan tanpa kemanusiaan hanyalah tirani. Dari situlah bangsa Indonesia dapat melangkah ke depan dengan lebih bijak, membangun masa depan yang tidak lagi diwarnai dendam, tetapi diisi oleh solidaritas, keadilan, dan perdamaian.
Catatan Kaki.
[1]: Asvi Warman Adam, Menguak Misteri Sejarah: Kontroversi Seputar Tragedi 1965 (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 27–35.
[2]: Robert Cribb (ed.), The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Monash University, 1990).
[3]: Saskia E. Wieringa, Sexual Politics in Indonesia (London: Palgrave Macmillan, 2002), hlm. 85–100.
[4]: Baskara T. Wardaya, 1965: Indonesia dan Dunia (Jakarta: Gramedia, 2016).
[5]: John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: Hasta Mitra, 2008), hlm. 110–135.
[6]: Ariel Heryanto, State Terrorism and Political Identity in Indonesia: Fatally Belonging (London: Routledge, 2006).
[7]: Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009).

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler